Kamis, 18 Mei 2017

Khilafah Masuk Kampus



Oleh: Siti Heni Rohamna*

Perbincangan publik terkait Hizbut Tahrir Indonesia kini tengah menjadi isu utama. Masyarakat dibuat penasaran dengan pemberitaan di pelbagai media cetak, online, maupun elektronik terkait HTI. Pasalnya, organisasi tersebut terancam dibubarkan karena berpaham anti Pancasila. Melalui Kementerian Politik, Hukum, dan Hak Asasi Manusia, pemerintah berencana melarang organisasi tersebut. Keputusan itu diambil karena HTI dinilai melanggar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat.


Ditinjau dari pelbagai literatur sejarah, Hizbut Tahrir resmi dideklarasikan pada tahun 1953 oleh Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani di Al-Quds (Yerussalem) Palestina. Tujuan utamanya yakni  mendirikankan negara Islam. Dalam menyebarkan ideologi, kelompok radikal ini menjajaki pelbagai wilayah di belahan dunia. Salah satunya Indonesia. Jumlah  penduduknya 80 persen muslim menjadi musabab. Faktor ini dinilai menjadi lahan basah untuk mengubah Negara Kesatuan Republik Indonesia  berdasar atas Pancasila dan UUD 1945.


HTI Masuk Kampus

Berdasarkan catatan wawasansejarah.com gerakan ini masuk ke Indonesia pada tahun 1982-1983. Pemilik Pesantren Al-Ghazali, Abdullah bin Nuh kala itu mengajak seorang aktivis Hizbut Tahrir, Abdurahman Al-Bagdadi yang tinggal di Australia untuk menetap di Bogor. Tujuannya untuk mengembangkan Pesantren Al-Ghazali. Saat mengajar di pesantren tersebut, Abdurahman Al-Bagdadi mulai berinteraksi dengan para aktivis Masjid Al-Ghifari, Institut Pertanian Bogor. Sejak itu, konsep khilafah mulai didiskusikan  di halaqah –pengajian kecil—di masjid tersebut.


Tak berhenti sampai disitu, penyebaran paham khilafah pun kian gencar digalakkan. Pelbagai strategi diusung. Perguruan tinggi kini jadi sasaran utama. Untuk memuluskan hajat,  dibentuklah Lembaga Dakwah Kampus. Tonggak dasar dimulai pada awal 1980-an. Tak berselang lama, ajaran HTI telah melanda Universitas Padjajaran, IKIP Malang, dan Universitas Airlangga. Kampus itu mengikuti jejak IPB. Tak berhenti sampai di situ, sayap HTI kian melebar hingga ke Universitas Hasanuddin, Makassar. Perguruan tinggi negeri itu ditaklukkan dalam sekejap.


Sebagai lingkungan akademis, area kampus memiliki potensi tinggi sebagai agen doktrinasi paham khilafah. Eksplorasi ideologi biasanya disampaikan melalui aktivitas kemahasiswaan yang bersifat eksklusif. Perekrutan dilakukan dengan mengadakan training, seminar, yang berujung pada ikatan interpersonal.


Sementara itu, HTI juga sangat intensif dalam membuat acara di kampus dalam skala besar maupun kecil. Dilansir dari Tirto.id, HTI beberapa kali menyewa aula maupun ruang terbuka di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (UGM). Pada November 2012 lalu, HTI cabang kampus UGM mengadakan acara bertajuk "Expo Gerakan" di kantor pusat Fakultas Teknik UGM. Pada April 2014 lalu, Universitas Negeri Medan, IAIN Sumatera Utara, dan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara juga menggelar acara "Medan Ta’aruf Awal (Mental) HTI" di aula Masjid Baiturrahman, Medan.


Selain digunakan sebagai penyebaran ideologi, kampus juga digunakan sebagai media perekrutan dan kaderisasi. Dilansir dari Kaskus.co.id, kader HTI telah menjamur di kampus-kampus besar seperti Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Airlangga, Universitas Diponegoro, dan lainnya. Peningkatan signifikan terjadi pada 5-6 tahun terakhir dari kurun waktu 2014. Grafiknya menunjukkan peningkatan dari 1:20, 1:18, hingga menjadi 1:5. Artinya, dari lima mahasiswa UI ada satu mahasiswa kader mereka.


Berujung Pemboikotan

Tampaknya perjalanan HTI tak selalu mulus. Pemboikotan pun tak terelakkan. Keresahan dengan ideologi HTI yang bertentangan dengan Pancasila membuat beberapa perguruan tinggi mengeluarkan surat edaran pelarangan. Dikutip dari Tempo.co, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta menerbitkan Surat bernomor B-1982/Un.02/HK.00.3/04/2017 tertanggal 4 April 2017. Surat ini berisi tentang larangan dan pencegahan terhadap organisasi dan aktivitas kampus yang bertentangan dengan Pancasila dan NKRI.


Hal senada juga dilakukan oleh UIN Walisongo Semarang. Dikutip dari Arrahmahnews.com, kampus ini melarang paham anti Pancasila dan NKRI yang kini tengah berkembang pesat. Larangan tersebut tertuang dalam surat nomor B-1018/Un.10.0/R/PP.00.9/04/2017 yang ditandatangani langsung oleh Rektor UIN Semarang, Profesor Muhibbin.


Menjamurnya gerakan anti Pancasila yang disuarakan oleh HTI harus segera dituntaskan. Kampus harus menjaga semua elemennya agar bebas dari jangkauan ideologi transnasional. Filtrasi terhadap buku-buku kajian keislaman perlu ditekankan kembali. Selain itu, peninjauan lebih lanjut terhadap para mahasiswa, dosen, serta organisasi kampus juga dianggap sangat penting. Karena paham khilafah tidak hanya diperoleh dari kajian buku-buku keislaman. Namun juga diperoleh dari adopsi pemikiran dosen dan profesor di lingkungan akademis.


Pertanyaan penting layak diajukan kepada pihak rektorat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Bagaimana pihak kampius menyikapi perkembangan HTI di UIN Jakarta? Membiarkan semua aktivitas dakwah HTI atau sebaliknya, menolak tegas. Tampaknya hingga kini petinggi kampus  masih bungkam. Segelas kopi bisa menyejukkan hati dan pikiran. Selamat pagi pak Rektor.



*Penulis adalah mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Jurusan Pendidikan Kimia.

0 komentar:

Posting Komentar