Oleh: Siti Heni Rohamna*
Perbincangan publik terkait Hizbut Tahrir Indonesia kini
tengah menjadi isu utama. Masyarakat dibuat penasaran dengan pemberitaan di
pelbagai media cetak, online, maupun elektronik terkait HTI. Pasalnya,
organisasi tersebut terancam dibubarkan karena berpaham anti Pancasila. Melalui
Kementerian Politik, Hukum, dan Hak Asasi Manusia, pemerintah berencana
melarang organisasi tersebut. Keputusan itu diambil karena HTI dinilai melanggar
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat.
Ditinjau dari pelbagai literatur sejarah, Hizbut Tahrir
resmi dideklarasikan pada tahun 1953 oleh Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani di
Al-Quds (Yerussalem) Palestina. Tujuan utamanya yakni mendirikankan negara Islam. Dalam menyebarkan
ideologi, kelompok radikal ini menjajaki pelbagai wilayah di belahan
dunia. Salah satunya Indonesia. Jumlah penduduknya
80 persen muslim menjadi musabab. Faktor ini dinilai menjadi lahan basah untuk
mengubah Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasar atas Pancasila dan UUD 1945.
HTI Masuk Kampus
Berdasarkan catatan wawasansejarah.com gerakan ini
masuk ke Indonesia pada tahun 1982-1983. Pemilik Pesantren Al-Ghazali, Abdullah
bin Nuh kala itu mengajak seorang aktivis Hizbut Tahrir, Abdurahman Al-Bagdadi
yang tinggal di Australia untuk menetap di Bogor. Tujuannya untuk mengembangkan
Pesantren Al-Ghazali. Saat mengajar di pesantren tersebut, Abdurahman Al-Bagdadi
mulai berinteraksi dengan para aktivis Masjid Al-Ghifari, Institut Pertanian Bogor.
Sejak itu, konsep khilafah mulai didiskusikan
di halaqah –pengajian kecil—di masjid tersebut.
Tak berhenti sampai disitu, penyebaran paham khilafah pun
kian gencar digalakkan. Pelbagai strategi diusung. Perguruan tinggi kini jadi
sasaran utama. Untuk memuluskan hajat, dibentuklah Lembaga Dakwah Kampus. Tonggak
dasar dimulai pada awal 1980-an. Tak berselang lama, ajaran HTI telah melanda Universitas
Padjajaran, IKIP Malang, dan Universitas Airlangga. Kampus itu mengikuti jejak
IPB. Tak berhenti sampai di situ, sayap HTI kian melebar hingga ke Universitas
Hasanuddin, Makassar. Perguruan tinggi negeri itu ditaklukkan dalam sekejap.
Sebagai lingkungan akademis, area kampus memiliki potensi
tinggi sebagai agen doktrinasi paham khilafah. Eksplorasi ideologi biasanya disampaikan
melalui aktivitas kemahasiswaan yang bersifat eksklusif. Perekrutan dilakukan
dengan mengadakan training, seminar, yang berujung pada ikatan
interpersonal.
Sementara itu, HTI juga sangat intensif dalam membuat
acara di kampus dalam skala besar maupun kecil. Dilansir dari Tirto.id,
HTI beberapa kali menyewa aula maupun ruang terbuka di Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta (UGM). Pada November 2012 lalu, HTI cabang kampus UGM mengadakan
acara bertajuk "Expo Gerakan" di kantor pusat Fakultas Teknik UGM.
Pada April 2014 lalu, Universitas Negeri Medan, IAIN Sumatera Utara, dan
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara juga menggelar acara "Medan
Ta’aruf Awal (Mental) HTI" di aula Masjid Baiturrahman, Medan.
Selain digunakan sebagai penyebaran ideologi, kampus juga
digunakan sebagai media perekrutan dan kaderisasi. Dilansir dari Kaskus.co.id,
kader HTI telah menjamur di kampus-kampus besar seperti Universitas Indonesia,
Institut Teknologi Bandung, Universitas Airlangga, Universitas Diponegoro, dan
lainnya. Peningkatan signifikan terjadi pada 5-6 tahun terakhir dari kurun
waktu 2014. Grafiknya menunjukkan peningkatan dari 1:20, 1:18, hingga menjadi
1:5. Artinya, dari lima mahasiswa UI ada satu mahasiswa kader mereka.
Berujung Pemboikotan
Tampaknya perjalanan HTI tak selalu mulus. Pemboikotan
pun tak terelakkan. Keresahan dengan ideologi HTI yang bertentangan dengan
Pancasila membuat beberapa perguruan tinggi mengeluarkan surat edaran
pelarangan. Dikutip dari Tempo.co, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan
Kalijaga Yogyakarta menerbitkan Surat bernomor B-1982/Un.02/HK.00.3/04/2017
tertanggal 4 April 2017. Surat ini berisi tentang larangan dan pencegahan
terhadap organisasi dan aktivitas kampus yang bertentangan dengan Pancasila dan
NKRI.
Hal senada juga dilakukan oleh UIN Walisongo Semarang.
Dikutip dari Arrahmahnews.com, kampus ini melarang paham anti Pancasila
dan NKRI yang kini tengah berkembang pesat. Larangan tersebut tertuang dalam
surat nomor B-1018/Un.10.0/R/PP.00.9/04/2017 yang ditandatangani langsung oleh Rektor
UIN Semarang, Profesor Muhibbin.
Menjamurnya gerakan anti Pancasila yang disuarakan oleh
HTI harus segera dituntaskan. Kampus harus menjaga semua elemennya agar bebas
dari jangkauan ideologi transnasional. Filtrasi terhadap buku-buku kajian
keislaman perlu ditekankan kembali. Selain itu, peninjauan lebih lanjut terhadap
para mahasiswa, dosen, serta organisasi kampus juga dianggap sangat penting.
Karena paham khilafah tidak hanya diperoleh dari kajian buku-buku keislaman. Namun
juga diperoleh dari adopsi pemikiran dosen dan profesor di lingkungan akademis.
Pertanyaan penting layak diajukan kepada pihak rektorat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Bagaimana pihak kampius menyikapi perkembangan HTI di UIN Jakarta? Membiarkan semua aktivitas dakwah HTI atau sebaliknya, menolak tegas. Tampaknya hingga kini petinggi kampus masih bungkam. Segelas kopi bisa menyejukkan hati dan pikiran. Selamat pagi pak Rektor.
*Penulis adalah mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Jurusan Pendidikan Kimia.
0 komentar:
Posting Komentar